Islam Adalah Jalan Hidup Pandangan bahwa agama merupakan pengatur spiritual saja hanya benar untuk agama lain. Sebaliknya, Islam bukan sekadar mencakup aspek spiritual, melainkan merupakan pandangan, jalan, dan sistem hidup yang lengkap. Islam merupakan akidah yang diyakini sekaligus aturan dan hukum yang mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan. Dari segi akidah, Islam menegaskan bahwa semua yang ada di alam ini diciptakan oleh Allah SWT ( QS Thaha [20]: 14; QS al-Baqarah [2]: 22). Allah SWT tidak hanya menurunkan aturan tentang alam semata, melainkan juga menurunkan perintah dan larangan yang termaktub di dalam wahyu yang diturunkan-Nya sebagai aturan kehidupan. Allah sajalah yang berhak menentukan hukum dan aturan bagi manusia (QS al-Baqarah [2]: 2; QS al-Qadr [97]: 1;QS an-Nahl [16]: 103; QS Yusuf [12]: 40), yang dibawa oleh Rasulullah (QS al-Fath [48]: 28-29; QS ash-Shaf [61]: 9). Semua perkara yang terdapat di dalam al-Quran harus diikuti (QS al-Hasyr [59]: 7; QS al-Baqarah [2]: 4). Manusia memang bebas mengikuti aturan yang diturunkan oleh-Nya ataupun membangkang-Nya (QS al-Balad [90]: 10). Hanya saja, nanti pada Hari Kiamat manusia akan dibangkitkan dan seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia ini akan dihisab (QS al-Mukminun [23]: 16; QS ar-Ra’du [13]: 40-41; QS al-Insyiqaq [84]: 8; QS al-Ghasiyah [88]: 26). Ujungnya, ada manusia yang dimasukkan oleh Allah SWT ke surga; ada pula yang ke neraka (QS al-Baqarah [2]: 25; QS ad-Dukhan [44]: 51-55; QS al-Waqi’ah [55]: 41-43). Dengan demikian, tugas manusia adalah untuk beribadah dalam arti luas (QS adz-Dzariyat [51] : 56), yang oleh Muhammad Quthub dalam bukunya, Mafahim Yanbaghi an-Tushahhah, dimaknai sebagai taat kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya, serta terikat dengan aturan-aturan Islam dalam segala aspek kehidupan. Berdasarkan hal ini, orang yang berpegang pada akidah Islam akan senantiasa terikat dengan aturan-aturan Islam (hukum syariat). Akidah Islam menetapkan bahwa sebelum ada kehidupan dunia ini ada Allah SWT; Zat Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan. Islam pun mengharuskan beriman pada kehidupan setelah dunia, yaitu kiamat dan kehidupan akhirat. Akidah Islam juga menetapkan bahwa bila ingin bahagia dunia-akhirat, dalam mengarungi kehidupan dunia ini manusia harus terikat dengan aturan-aturan Allah SWT dan menjauhi perkara-perkara yang dilarang-Nya. Agama Islam tidak boleh dipisahkan dari kehidupan. Di rumah, pasar, mal, kendaraan, kantor, masjid, ruang pertemuan, mes, hotel, dan di setiap tempat manusia diperintahkan menaati perintah Allah SWT, Zat Yang Mahatahu. Dalam makanan, minuman, pakaian, akhlak, ibadah, dan berbagai muamalah Allah SWT memerintahkan setiap Muslim untuk menjalankan aturan Islam (hukum syariat). Inilah hubungan antara kehidupan dunia dan sebelum kehidupan dunia. Selain itu, dalam akidah Islam, setiap orang akan ditanyai kelak: apakah ia menaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya ataukah sebaliknya. Kenyataan yang akan dialami semua orang ini merupakan hubungan antara dunia dengan sesudahnya. Berdasarkan hal ini, jelas sekali, seorang Muslim diperintahkan untuk selalu melakukan perbuatannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT, Zat Yang Mahabijaksana. Semua itu tidak lain semata-mata dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati berupa keridhaan Allah SWT, yang salah satu wujud yang dijanjikan-Nya adalah surga yang penuh kenikmatan. Seorang Muslim merasa tenteram dan bahagia saat berhasil melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Sebaliknya, ia bersedih bila perbuatannya melanggar hukum Allah SWT. Letak kebahagiaan seorang Muslim yang menjadikan Islam sebagai qiyâdah fikriyyah terletak pada ketaatannya kepada Allah Rabbul ‘Izzati. Beginilah akidah Islam sebagai qiyâdah fikriyyah; memimpin penganutnya untuk senantiasa menjadikan dirinya sebagai makhluk dan hamba Allah SWT. Pada sisi lain, akidah Islam bukan hanya memerintahkan untuk melakukan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya semata, melainkan juga menjelaskan berbagai pemecahan masalah kehidupan yang dapat digali dari sumber hukum Islam: al-Quran, Hadis Nabi, Ijma Sahabat, dan Qiyas (Analogi) Syar’iyyah. Menggali sumber-sumber tersebut akan ditemukan bahwa Islam menjelaskan sistem hubungan laki-laki dengan perempuan mulai dari bergaul, meminang, menikah, nafkah, mengurus anak, nasab, perwalian, dan waris. Semua ini merupakan sistem sosial (nizhâm ijtimâ‘î). Bukan hanya itu, dalam persoalan ekonomi, Allah SWT menjelaskan tentang konsep ekonomi, pemilikan, sebab-sebab pemilikan, jenis-jenis kepemilikan, berbagai jenis akad dalam muamalah, hukum-hukum seputar perseroan dan perusahaan, kebijakan-kebijakan untuk mengentas kemiskinan, lembaga perekonomian, dan hal-hal lain yang merupakan sistem ekonomi (nizhâm iqtishâdî). Masalah pemerintahan dipaparkan pula dalam al-Quran dan Hadis Nabi; mulai dari arti pemerintahan, kepemimpinan, syarat-syaratnya, bentuk pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintahan, perkara perang dan damai, hubungan luar negeri, sistem partai politik, dan persoalan-persoalan lain dalam sistem pemerintahan (nizhâm al hukm). Persoalan sanksi juga dengan gamblang dijelaskan oleh Rasulullah saw. Beliau menjelaskan dengan gamblang berbagai jenis sanksi (hudûd, jinâyat, mukhâlafat), berbagai sanksi hukum bagi pembunuhan (sengaja, tidak disengaja), pencurian, perampokan, gangguan keamanan lain, hal-hal menyangkut persaksian, penyidikan dan penyelidikan, lembaga peradilan, dan segala hal yang berkaitan dengan sistem hukum (nizhâm ‘uqûbât). Begitu pula dalam sistem-sistem lainnya. Ringkasnya, Islam mengandung sistem yang mengatur berbagai interaksi antar masyarakat. Dengan demikian, Islam merupakan ‘akidah ‘aqliyyah yang melahirkan sistem peraturan. Jadi, Islam merupakan mabda’ (ideologi). Ideologi Islam inilah yang diperintahkan Allah SWT untuk dijadikan pandangan hidup dan pengatur masyarakat. Inilah Islam. Seperti itulah Islam harus diajarkan. Islam bukanlah sebatas pengetahuan, melainkan akidah dan syariah. Ketika Islam merupakan keimanan dan aturan, tidak mungkin keimanan diajarkan oleh orang yang tidak mengimaninya; tidak mungkin keterikatan terhadap hukum melekat dalam jiwa bila diajarkan oleh orang yang tidak mempercayainya. Waspadai Sinkretisme! Setelah serbuan ideologi Barat membaratkan masyarakat Muslim, episode pun beralih menjadi pembaratan Islam itu sendiri. Dunia Islam diserbu oleh pemikiran yang ditujukan pada penumbuhan rasa ragu kaum Mslim terhadap ajaran Islam. Gembar-gembor dialog antar agama hanyalah merupakan upaya sinkretisme agama yang dibonceng upaya pemurtadan. Pada saat yang sama, orang-orang yang berideologi kapitalis atau terperosok ke dalamnya menekankan agar kajian-kajian terhadap ajaran Islam didasarkan pada cara pandang ideologi kapitalis, HAM, dan demokrasi. Akhirnya, Islam yang hendak dinjeksikan ke tengah kaum Muslim adalah Islam yang sekadar legitimasi semata. Seruan bahwa semua agama sama, tuduhan ‘mempolitisasi’ agama, hukum Islam kejam serta hanya layak untuk Abad Kedua Hijriah, dan sebagainya merupakan sebagian fakta dari hal itu. Berikutnya, diserukanlah ‘penyatuan agama-agama’ (sinkretisme) atau paling tidak ‘menyamadudukkan’ agama-agama dengan menerapkan sekularisme. Tujuannya adalah mereduksi kedudukan Islam dan menutupi ajarannya yang khas mengenai akidah dan syariat serta memecah-belah dakwah Islam (Pembaratan di Dunia Islam, 1991:28). Hasil semua itu adalah Islam terpisah dari kaum Muslim. Jadilah, seperti kata Sayyid Quthb, Al-Islâm Syaiun wa Muslim Syaiun Akhar (Islam adalah sesuatu dan Muslim adalah sesuatu yang lain). Seseorang memang menganut Islam tetapi tidak memahami dan tidak menerapkan Islam. Islam yang semestinya diterapkan hanya teronggok di dalam lembaran-lembaran al-Quran atau buku-buku karya para ulama yang tersimpan dalam rak-rak buku. Secara i’tiqâdî, upaya sinkretisme seperti itu haram. Allah SWT tegas sekali berfirman: Janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang batil, dan janganlah kalian menyembunyikan yang haq itu, sedangkan kalian mengetahuinya. (TQS al-Baqarah [2]: 42). Hai Ahli Kitab, mengapa kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang batil dan menyembunyikan kebenaran, padahal kalian mengetahui? (TQS. Ali Imran [3]: 71). Berdasarkan hal ini, upaya menyamadudukkan agama-agama bertentangan dengan akidah Islam. Karenanya, setiap Muslim harus menolaknya sebagai konsekuensi keimanannya. Wahai Kaum Muslim, Kita adalah umat terbaik yang diturunkan oleh Allah SWT untuk segenap manusia, mengajak manusia pada yang makruf serta mencegahnya dari perbuatan mungkar, yang dasarnya adalah keimanan kepada Allah, Pencipta kita semua. Islam adalah tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Kaum Muslim hanya akan tinggi apabila berpegang pada Islam yang tinggi tersebut. Kemuliaan terletak pada keterikatan terhadap aturan Allah SWT dalam Islam. Karenanya, ketika ada upaya-upaya untuk menggerogoti Islam, bahkan menghancurkan ajarannya dengan menyamadudukkan Islam dengan ajaran kebatilan, kewajiban kitalah untuk menjaganya. Sebab, itulah yang diperintahkan Allah, Zat Yang Maha Mulia, kepada kita sebagai hamba-Nya. Wahai kaum Muslim, Ingatlah, Allah Yang Maha Besar telah berfirman: Mereka tidak akan henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (pada kekufuran), seandainya mereka sanggup. Siapa saja yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya (TQS. al-Baqarah [2]:217). Ayat tersebut menginformasikan kepada kita untuk memiliki kepekaan terhadap upaya yang hendak menggiring kita dan anak cucu kita pada kekufuran. Kelalaian terhadap masalah ini menyebabkan kita berdosa di sisi Allah SWT. Karenanya, Rasulullah saw. mengajarkan agar kita menjadi penjaga setiap celah Islam pada posisi masing-masing.